Umat Katolik di Hong Kong diminta untuk mempelajari berbagai peristiwa sejarah supaya mereka bisa menjalankan karya para misionaris dalam mewartakan Injil di wilayah masyarakat Cina itu.
Mempelajari sejarah bukan sekedar menggali fakta-fakta tetapi juga merupakan sebuah proses penyadaran tentang apa yang diwariskan nenek moyang kepada masyarakat, kata Romo Louis Ha Ke-loon, direktur Pusat Studi Katolik dari Universitas Cina di Hong Kong.
Hal tersebut disampaikan oleh imam itu pada sebuah acara yang diadakan pada 23 Maret untuk mengawali serangkaian studi yang disebut “Sejarah Misionaris Gereja Hong Kong Dalam Abad Ke-20.” Serangakaian studi yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Katolik, kantor arsip keuskupan dan majalah mingguan keuskupan Kung Kao Po ini akan berakhir dengan sebuah pertemuan akademis pada Desember nanti.
Romo Ha – yang juga berkarya sebagai pengarsip keuskupan – mengatakan bahwa mempelajari sejarah membantu masyarakat menyerap kebajikan dari pengalaman nenek moyang dan menuntun mereka pada perenungan tentang apa yang seharusnya dilakukan.
“Berbagai insiden politik dan sosial mempengaruhi keberlangsungan Gereja. Gereja tidak bisa mengisolasi diri dari latar belakang temporal dan spasial,” katanya seperti dikutipKung Kao Po pada 22 Maret.
Romo Gianni Criveller asal Italia, pembicara utama pada acara itu, menceritakan tentang sejarah karya Institut Kepausan untuk Misi Asing (PIME).
Para misionaris Italia mewartakan Injil di Hong Kong dalam tiga cara, kata imam sejarawan itu kepada sekitar 80 orang termasuk kaum religius, mahasiswa teologi dan ekspatriat Italia.
Mereka mewartakan Injil dengan membentuk komunitas Kristiani dan paroki serta melalui pendidikan dan pembinaan dan pelayanan sosial dan karya amal, lanjutnya.
Para misionaris itu juga menggunakan media cetak untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat.
Kung Kao Po didirikan salah satunya oleh Romo Andrea Granelli pada 1928. Sementara itu, versi Bahasa Inggris dari majalah ini dimulai oleh Romo Nicola Maestrini pada 1946.
Hong Kong diangkat menjadi prefektur apostolik pada 1841 dan dipercayakan kepada Institut Misionaris Asing Milan atau pendahulu PIME pada 1868 sebelum menjadi vikariat apostolik pada 1874. Anggotanya, Timoleone Raimondi, ditahbiskan sebagai uskup dan menjadi vikar apostolik pertama.
Romo Criveller meminta umat Katolik untuk lebih banyak melakukan karya-karya misionaris. Setiap orang Katolik yang telah dibaptis memiliki panggilan untuk mewartakan Injil, tegas dosen misiologi itu.