Usia Romo L Sugiri SJ tidak muda lagi, tetapi jangan tanya dalam hal semangat, daya ingat, dan keinginan untuk terus berkarya. Semua masih berkobar-kobar. Tepat pada 23 Desember 2015, Romo Sugiri genap berusia 85 tahun.
Meski usianya sudah lebih setengah abad, banyak hal di masa kecil yang masih segar dalam ingatannya. Sepertinya, semua itu baru terjadi kemarin. Sugiri masih ingat dengan baik berbagai data dan nama dari literatur yang dia baca atau pelajari pada masa mudanya.
Meski begitu, usia tetap tidak bisa ditipu. Kekuatan fisiknya mulai menurun, meski tidak ada penyakit serius yang diderita. “Saya sudah tidak bisa banyak pergi untuk memberi seminar. Saya di rumah atau di sekitarnya saja,” ujar misionaris asal Belanda ini.
Untuk menjaga fisiknya agar tetap bugar, Romo Sugiri selalu berolahraga ringan. Untuk mengisi waktu secara produktif, selain membaca, sejak Februari lalu dia memiliki kesibukan baru, yakni melukis. Kalau ada waktu dan tak ada tugas lain, dia pasti melukis.
Lukisan-lukisannya bertema evangelisasi atau penginjilan. Macam-macam hal atau peristiwa divisualisasikan. Ada gambar Yesus, sakramen-sakramen, peristiwa Paskah, Pentakosta, Yesus dengan anak-anak, Paus, gambar pengampunan dosa, dan penyembuhan. Total, sudah 45 lukisan yang dihasilkan Romo Sugiri.
“Saya ingin melakukan evangelisasi baru melalui lukisan,” ungkapnya, seperti dilansir suara pembaruan.com.
Kini, ruang kerjanya di Pastoran Paroki Santa Theresia, Menteng, Jakarta Pusat, sudah didominasi lukisan karyanya. Karena ruangannya sudah tidak menampung, sejumlah lukisan digantung di tembok lorong yang ada antara ruang kerja dan kamar tidurnya.
Bagaimana ceritanya hingga pastor yang di masa kecil itu bercita-cita menjadi wartawan sekaligus imam, ini mulai melukis?
Semua dimulai ketika Wanita Katolik di Paroki Santa Theresia mengadakan kursus melukis. Saat itu, Sugiri menjadi moderator untuk kursus melukis itu. Guru melukis yang didatangkan dari Bali memberikan kanvas, kuas, dan cat kepadanya sambil meminta dia ikut kursus juga. Permintaan tersebut langsung tersambung dengan salah satu hobinya di masa kecil, yakni mengagumi lukisan.
“Waktu di seminari, kalau liburan saya selalu pergi ke museum untuk melihat lukisan. Saya juga membeli banyak buku tentang melukis, tapi tidak pernah melukis sendiri. Sekarang, saya selalu merasa ketinggalan zaman dengan teknik melukis dan improvisasi,” tuturnya.
Menyambut ulang tahunnya yang ke-85, Romo Sugiri akan mengadakan pameran tunggal pada 15 Januari 2016 di Gedung Shekinah, Kompleks Duta Merlin B 41-43, Jalan Gajah Mada Nomor 3-5, Jakarta.
Heuvel jadi Sugiri
Tidak bisa disalahkan jika ada yang ragu-ragu saat pertama kali berkenalan dengan Romo Sugiri. Setiap ada orang yang baru dikenalnya, dia selalu mengulurkan tangan sambil berkata, “Saya Sugiri”. Ada kisah tersendiri di balik nama yang sangat khas Jawa tersebut.
Ketika masih menjadi frater di Yogyakarta, setiap Rabu, dia dan frater-frater lain dari Belanda tidak boleh tinggal di rumah. Mereka harus pergi bergaul ke desa-desa untuk belajar bahasa dan kebudayaan Jawa dengan didampingi frater dari Indonesia.
Bersama frater pendamping, mereka berkeliling ke desa-desa di sekitar Yogyakarta menggunakan sepeda ontel sepanjang hari. Pastor paroki memberikan daftar umat yang harus dikunjungi. Salah satu di antaranya bisa menjadi tempat makan hari itu.
Dengan ramah dan rajin Sugiri dan kawan-kawan melakoni kewajiban tersebut. “Saat ke desa itu, orang bertanya, ‘Rama, asmanipun sinten?’ (Bapak namanya siapa?). Saya jawab, ‘Romo Van Den Heuvel’. Mereka tidak mengerti,” ujarnya.
“Lalu, teman saya, Romo Brotowiratmo SJ, langsung menjawab, ‘Sugiri’! Dia menerjemahkan nama saya ke dalam bahasa Jawa. Giri itu berarti gunung, Heuvel juga berarti gunung. Tapi, gunung kecil. Di Belanda tidak ada gunung tinggi. Sejak itu saya memakai nama Sugiri,” ujarnya sambil tertawa.
Sugiri pun menjadi nama samaran resmi Van den Heuvel. Kalau menulis artikel di Majalah Hidup saat masih menjadi frater, dia mulai memakai nama Sugiri sehingga nama ini semakin populer.
Kemudian, ketika bertugas di Solo, umat di sana tidak bisa mengucapkan nama Van den Heuvel sehingga dia kembali menggunakan nama Sugiri. Dia lalu ke kelurahan, melaporkan diri dengan nama Sugiri.
“Jadi di KTP, langsung nama Sugiri… hahahaha.. Orang Jawa, saat dewasa tambah nama, kan? Jadi, saya menulis ‘Sugiri Van Den Heuvel’. Saya tahu bahwa dalam dokumen resmi, menurut hukum, tidak bisa. Kata pengadilan, tidak bisa berganti nama,” ujar Romo Sugiri.
Meski demikian, dalam dokumen-dokumen resmi, termasuk di bank, dia tetap menggunakan nama Sugiri.
“Baru sekarang ini bisa. Sekarang KTP menggunakan sistem elektronik. Saya mendaftar dengan menggunakan nama Sugiri. Petugas tak mau terima. Dia minta surat resmi. Ya, jelas tidak ada,” tuturnya.
Akhirnya, Sugiri mengalah. Dia menggunakan nama aslinya di dokumen resmi. Namun, setiap berkenalan dengan orang baru, dia lebih senang menggunakan nama Sugiri. “Nama saya Sugiri,” ujarnya.